Kamis, 06 Mei 2010

Tawa dedaunan




Langit biru terhias awan putih
Bergumpal mengejar yang lain
Suara tepukan dedaunan beriringan
Mengikuti alunan detak langkah awan
Angin yang kadang lelah
Berhenti sejenak dan kadang memaksa
Mengajak awan kembali berkejaran
Menghasut rerumputan kembali menari
Dedaunan pun kembali bertepuk
Mengikuti sajak yang dilantunkan
Dari sepoi tiupan kedamaian
Tertawa riang tanpa resah
Walau teriring dedaunan lain berjatuhan
Namun dengan bijak dan tanpa khawatir
Dedaunan yang riang berirama
“mereka dedaunan tua,
Sudah seharusnya jatuh,
Lekang terhempas angin,
Terlepas untuk selamanya”
Begitu benar dan sangat bijak
Karena seiring dengan itu
Tumbuh berjuta dedaunan baru
Yang lebih muda, cerah dan ceria
Meneduhkan mata yang penak
Menyalurkan kedamaian
Pada seluruh alam
Lebih kuat
Walu dihempas badai
Diterpa hujan yang deras
Selalu bisa bertahan dan menhan
Untuk selama-lamanya

Lembaran yang hilang

Hati…
Terkikiskan oleh bentaian kerak hati
Terus terhimpit dekapan tanpa henti
Hanya bisa membiarkannya terus tersakiti
Tanpa peduli betapapun sakitnya
Terus terlena dalam himpitannya
Hanya bisa membiarkannya tergores
Terus menerus dan selalu berulang
Pedulipun tidak dengan penguasanya
Yang Maha Menguasai hati
Bahkan hampir tidak mengingat-Nya
Semuanya terlena oleh indahnya dekapan menyakitkan
Hingga suatu saat aku mencoba
Berusaha keluar dari himpitan itu
Rasanya sakit
Karena terlepas dari sakit yang terbungkus manisan
Terus mencoba tuk jauh meninggalkannya
Tiada yang menyangka
Akupun berdiri heran
Kutemukan lembaran yang hilang
Yang selama ini terhalang kerak hati
Yang menguasai kegelapan hatiku
Tiada henti menghimpitnya dengan penuh kelembutan maya

MencintaiNya

Hanya Satu
Dan seolah mendua
Tapi hanya satu
Tiada beralih
Hanya
Aku hanya mampu itu
Aku mengingatkanmu
Pada yang Maha Melihat
Jiwa
Jiwamu setia mendengarkan
Hatiku berdebar
Inikah imanku
Yang baru dikenal
Dikenali batinku
Setelah ku bertemu
Memperkenalkan kekuasaanNya
Dan
Dan kamu gugup
Aku tahu
Akupun begitu
Saat itu
Kita mencintainya-Nya

Tempatku Menunggu

Entah
Dan selalu begini
Sampai kapan?
Hatiku letih, jiwaku lelah
Semuanya menyiksa
Apakah aku sanggup?
Bahkan,,
Hanya mengucapkan
Tidak lebih
Satu kata
“Berhenti”
Dengarkanlah
Wahai pusaran angin selatan
Aku menunggumu
Di tempat biasa
Hampirilah
Wahai bentangan lautan selatan
Sentuhlah belaian bukit
Tempatku menanti
Tiupkanlah
Wahai kesejukan hujan
pertama mendebarkan jantungku
Di tempatku menunggu
Di hatiku…...

Perasaanku

HIlang…

Dan semua hening

Dibalik semak belukar

Rae menunggu

Terlihat gagah

Aku takut

Kulihat semuanya berlari

Aku sendiri terdiam gugup

Akupun terbangun mengikuti

Akan tetapi kakiku patah

Tak mampu lagi meniru

Aku bahkan tak mampu berdiri

Hanya bisa pasrah

Aku tersadar

Di sampingku ada kayu

Kini aku siap memukulnya

Namun

Dia tak pernah mengejarku

Aku terbebas dari rasa takut

Yang selalu datang menghantui

Hingga aku tahu

Semua tiada benar

Hanya perasaanku